Catatan dari Waisak di Candi Borobudur, 25 Mei 2013
Perkenalkan gan, saya salah seorang penganut agama Buddha di Indonesia. :
Karena kemarin adalah hari Tri Suci Waisak dan saya sendiri berdomisili di Jogja, maka sangat mudah bagi saya untuk ikut prosesi kebaktian di Candi Borobudur.
Namun sangat disayangkan, ketika saya tiba dilokasi, apa yang saya dapatkan tidaklah selayaknya kebaktian agama pada umumnya.
Mungkin agan-agan sudah tahu banyak kejanggalan-kejanggalan yang ada disana.
Berikut ini saya himpun beberapa catatan perjalanan yang mungkin sudah sering agan-agan sekalian baca
Quote:Original Posted By berita 1
Lagi, prosesi tahunan tri suci Waisak 2557/2013 digelar di Candi Mendut Borobudur 24-25 Mei. Itu berarti bahwa wilayah di sekitar Mendut-Borobudur bakal dipenuhi orang. Tak hanya umat Buddhis, tapi juga para maniak fotografer yang mengalir mirip bah, wisatawan lokal maupun luar, serta masyarakat lokal.
Di negara yang penganut Buddha-nya banyak misalnya, Waisak diperingati dengan sakral, penuh hormat, dan hening. Hal semacam ini sulit ditemui pada peringatan Waisak di Mendut-Borobudur. Waisak di sini lebih mirip atraksi wisata, hiburan buat masyarakat awam. Ada pasar malam yang digelar di sepanjang bagian luar Candi Borobudur hingga Mendut yang dipenuhi ribuan orang. Ada dengking, pekik kebisingan dari suara motor, orang berbincang, yang kerap mengganggu jalannya pujabakti yang digelar di pelataran Candi Mendut di malam hari. Sepintas, sungguh mirip sekaten Jogja. Bukan ritual agama.
Di negeri ini, perayaan agama minoritas kerap dipandang sebelah mata. Bukannya dihormati pelaksanaannya, malah dijadikan atraksi wisata. Para penikmat ritual, entah wisatawan atau juru potret, menganggap sudah jamak memotret seenak udelnya, karena itu bagian dari atraksi wisata. Tak peduli saat itu digelar pujabakti, pembacaan sutra, atau meditasi.
Saya jadi membayangkan andai pada pelaksanaan shalat Ied, lalu ada kaki-kaki yang masuk di sela-sela shaft, demi menjepret sang Imam atau makmum, apa yang terjadi? Pastilah jamaah marah, memaki, malah bisa jadi si tukang foto diusir, ditangkap, atau dikurung. Itu sebabnya para fotografer shalat jauh sebelumnya sudah mengatur posisi agar tak mengganggu kekhusyukan shalat. Anehnya, hal ini tak terjadi pada Waisak Borobudur.
Para banthe yang khusuk berdoa, membaca sutra pun, jadi obyek eksotisme karya foto. Atau arak-arakan pawai harus tersendat karena berjubelnya penonton yang beringas seolah hendak memakan para banthe atau peserta ritual yang hendak memasuki kawasan candi. Mereka atraksi. Mereka menarik untuk dipotret. Tak ubahnya penari reog atau dance festival.
Harus diakui, kini prosesi Waisak di Borobudur memang menjelma menjadi tontonan, suguhan yang menghibur masyarakat sekitar. Nilai magis, kesucian ritual, telah berbaur dengan komersialisasi wisata. Mau tak mau, karena prosesi dilaksanakan di tempat wisata yang mendunia, Candi Borobudur.
Saya jadi berangan-angan, semacam utopis, andai di saat perayaan ritual agama seperti Waisak, Borobudur ditutup untuk umum dan semata digunakan untuk ritual agama bagi umat Buddha. Mungkinkah?
Sudah banyak hal tidak menyenangkan yang saya saksikan berkaitan dengan ritual Waisak ini. Tahun lalu saya ada di antara umat Buddhis yang berada di dalam vihara depan Candi Mendut. Belum tengah malam saat itu. Banyak awam diijinkan masuk awalnya. Bukannya sekedar melihat-lihat, mereka dengan usilnya bermain dengan segala benda yang mereka anggap aneh. “Apa ini? Hahaha.. Wah, ini sih patung nggak jelas, Huhuhu..” Mereka memainkan semacam kentongan, menertawakan orang yang sembahyang sambil menundukkan kepala dan menyilangkan tangan, dan sebagainya. Seolah itu perbuatan menggelikan, karena memang di luar konteks pemahaman agama mereka. Ini sungguh mengesalkan. Di mana letak toleransi.
Andai ada orang nyelonong masuk ke masjid, lalu dengan main-main berdiri di mimbar masjid saat bukan waktu shalat, atau menabuh bedug sesuka hati, apa ada yang tidak marah? Pastilah si penabuh bedug itu digampar dan dikuliahi sampai berbuih. Tapi bersikap toleran terhadap pemeluk agama liyan, sungguh sulit.
Ini baru soal sikap. Tentang nilai komersil, bisa saya gambarkan sebagai berikut. Seorang kawan berkabar ditawari wisata Borobudur, termasuk mengikuti prosesi Waisak dengan membayar Rp900.000. Kawan-kawan manca juga mengakui hal sama, 70 dolar tiket untuk menonton prosesi Waisak di Borobudur dari awal hingga akhir. Entah agen perjalanan mana yang mengadakan. Kawan-kawan fotografer dari media entahlah beramai-ramai mendaftar ke panitia, demi memperoleh tanda pengenal yang membebaskan mereka dari tiket masuk Borobudur. Dan beragam cara lainnya.
Komersialisasi juga sudah dinikmati masyarakat sekitar. Tahun kemarin saya terkaget-kaget karena hampir semua rumah penduduk di sekitar Mendut sudah disulap menjadi penginapan dadakan dengan tarif antara Rp50.00-Rp250.000 semalam. Tergantung mau tidur di kamar atau menyewa satu rumah penuh. Itu pun mau tidur di atas tikar, di atas ranjang, atau bergelung karpet. Ana rega ana rupa. Semakin mahal tarifnya semakin maknyus fasilitasnya. Hehehe..
Wah, ingatan saya jadi melayang di akhir 1990-an, saat mengikuti prosesi Waisak yang nyaris tanpa gangguan dengan kawan-kawan Buddhis Jepang. Kami masuk candi dengan tenang, setelah mengisi daftar berasal dari mana di depan Candi Mendut, lalu beramai-ramai ikut pawai. Nyaris tak ada fotografer ganas, semua tampak sopan dan meminta ijin dulu jika hendak memotret.
Tahun berikutnya kembali saya datang saat Waisak, berencana menginap di vihara depan Candi Mendut. Malam itu saya berbaur dengan para Buddhis dari penjuru nusantara, bahkan tidur di lantai paling bawah bangunan utama. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan dari mereka. Mereka berasal dari Borneo, Lombok, Bali, bahkan Sulawesi dan Sumatra. Umumnya datang dengan kemauan sendiri, perorangan, dengan dana yang sengaja diada-adakan. Bahkan, ada yang sudah menabung 2-3 tahun demi dapat mengikuti prosesi Waisak di Borobudur. Bagi mereka, datang ke Borobudur mirip ziarah. Jadi, apa salahnya menghormati kawan-kawan peziarah ini dengan bersikap lebih santun, dengan menjaga kesakralan prosesi dan tak menjadikan mereka sebagai obyek semata?
Saya tahu bahwa Borobudur adalah obyek wisata yang mendunia, sama terkenalnya dengan Angkor Watt, atau Ayutthaya. Apalagi ketiganya sudah ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO, yang berarti menambah nilai sebagai warisan budaya di mata dunia. Namun ada hal yang perlu dicermati dengan penetapan world heritage ini. Masuk tempat-tempat world heritage jadi tidak gratis, terkadang lumayan mahal. Orang asing yang masuk ke kompleks Angkor Watt dikenai bea 20 dolar per hari. Tapi ‘nyucuk’ kata orang Jawa, karena kompleks candinya amat sangat luas (tapi tiket masuk Borobudur yang akan dinaikkan menjadi Rp 200.000 dianggap turis asing keterlaluan, Borobudur kan cuma ‘secuplik’, nggak ada sepersepuluhnya dari Angkor Watt). Lebih istimewa lagi, di Angkor, warga lokal alias Kamboja bebas bea masuk. Tiket ini berlaku hanya buat orang asing. Demikian pula di Ayutthata.
Saya ingat beberapa waktu lalu orang Hindu Bali menolak anugerah ‘world heritage’ dari UNESCO bagi Pura Besakih. Alasannya, mereka tak ingin nantinya umat Hindu yang melakukan ritual di pura itu harus membayar. Cukuplah para wisatawan yang membayar, bukan orang lokal. Sungguh ini tindakan yang benar dan terpuji.
Di jaman ini komersialisasi di bidang agama memang tak dapat dielakkan. Para da’i di teve menerima jutaan rupiah sekali ngecap, da’i yang diundang ke ceramah-ceramah akbar pun mengalami hal sama. Jadi, tak ada yang salah jika Waisak jadi obyek wisata. Mungkin nanti perayaan natal di Gereja Jago, atau Shalat Ied di masjid besar juga dapat jadi obyek wisata. Permasalahnnya mungkin, di negeri mayoritas agama A, maka prosesi agama A itu sudah biasa, tak bakalan laku dijual karena milik mayoritas. Tapi prosesi agama B, yang hanya segelintir umatnya, sah-sah saja dikomersialisasi. Tak bakalan ada yang protes. Kalau protes pun, yang mencicit hanya satu dua mulut, tak ada artinya dibanding jutaan mulut. Tapi hendaknya dikomersilkan pun masih menghormati hak-hak umat beragama yang bersangkutan. Ah, ini hanya renungan.
Apapun itu, selamat merayakan Waisak bagi umat Buddha
sumber: http://othervisions.wordpress.com/20...-obyek-wisata/
Quote:Original Posted By berita 2
Pembuka dulu. Entahlah. Terserah tulisan ini mau dipandang dari sisi negatif atau positif. Saya tidak terlalu peduli. Masa bodoh! Yang penting ada bahan untuk menulis. Itupun sekiranya bahan kali ini tidak terlalu sensitif.
Hari ini perayaan Tri Suci Waisak. Jangan tanya kenapa disebut Tri Suci. Secara garis besar, saya tidak terlalu percaya dengan hal itu. Sejarah adalah rangkaian kebohongan yang mau tidak mau harus diakui kebenarannya untuk mencegah polemik.
Lewatkan saja tahap ini. Saya tinggal di Jogja. Mudah sekali untuk mencapai Candi Borobudur. Akhirnya saya bersama seorang teman berencana untuk melakukan prosesi kebaktian di Candi tersebut. Berangkatlah kami ditemani dengan seorang teman lagi. Totalnya kami bertiga.
Berangkat jam 8. Kebaktian dimulai jam 8. Umat Buddha macam apa saya ini? Perjalanan kira-kira satu jam, akhirnya saya sampai di Candi Mendut. Kebaktian memang diadakan disana.
Saya sudah menjalani kebaktian ini selama 4 tahun terakhir. Jadi saya tahu seluk beluknya. Kenapa saya sampai jam 9? Karena saya hanya mau mengikuti bagian doa bersamanya saja. Cerdas kan?
Sudah menjadi tradisi, perayaan Waisak di Candi Mendut dan Borobudur akan dihadiri oleh jutaan umat non-Buddha dan segelintir umat Buddha. Kenapa? Karena prosesi waisak telah menjadi semacam bisnis dinegara ini. Ironis ya?
Tidak lah. Untuk apa harus diperdebatkan. Toh yang penting semua bisa menikmati Waisak dari sisi yang berbeda-beda.
Disini mulai ada sedikit gangguan. Entah atas dasar apa, ketika para umat berdoa. Ada wartawan yang berbondong-bondong masuk ke jajaran umat dan melakukan liputan. Ada apa ini? Mau tau apa yang saya rasakan? Mungkin suatu ketika, saya bisa melakukan liputan ditengah umat Muslim yang tengah jumatan atau umat Nasrani ketika kebaktian minggu pagi. Rasa (kesalnya) sama!
Lanjut ya. Nah setelah doa bersama selesai, kan ada tuh yang namanya detik-detik Waisak. Itu sama saja seperti detik-detik tahun baru. Disini lebih lucu lagi loh! Jadi Bhante itu melakukan prosesi pemberian berkah. Muncullah jejeran anjing, eh maaf manusia sebenarnya, yang memotret-motret Bhante tersebut. Begini saja deh. Bhante itu bukan pemuka agama yang suka narsis. Camkan itu baik-baik.
Bhante itu lebih umum dikenal sebagai Biksu. Saya memandang rendah orang yang memanggil biksu. Tidak peduli dia tahu atau tidak. Pokoknya mereka yang memanggil Bhante dengan Biksu itu lebih rendah dari sampah. Alasan personal saja. Negara ini demokratis. Siapa saja boleh berpendapat.
Lumayan loh kalo yang motret itu jago-jago. Ini mah cuman anak manja dengan modal duit orang tua lalu membeli kamera DSLR. Dan lumayan juga kalau hasil fotonya bagus. Mungkin saya yang tidak bakat fotografi bisa memotret lebih bagus. Tapi kembali lagi ke tadi. Seorang pemuka agama tidak pantas difoto ketika melakukan prosesi keagamaan.
Saya senang sekali kalau acara Waisak ini dilihat oleh banyak turis lokal maupun internasional. Tapi ya sadar diri lah. Anda mau ketika anda Sholat Id pada Idul Fitri, saya ganggu? Tidak kan? Sama.
Pada dasarnya Candi Borobudur adalah pusat pembelajaran Agama Buddha (pada masa lalu). Ketika masa Kerajaan Majapahit. rajanya (lupa nama) berambisi untuk memindahkan pusat Agama Buddha ke pulau Jawa. Dan itu berhasil! Ya itu berhasil. Banyak catatan yang mungkin kalau kita lihat di India menceritakan tentang Borobudur.
Jadi saya sama sekali tidak terganggu kalau ada orang non Buddha yang datang dan melihat prosesi Waisak di Borobudur. Asal dengan satu syarat, anda datang untuk mempelajarinya. Atau minimal ingin melihatnya. Dan tolong dicatat, tanpa mengganggu prosesinya sendiri. Tidak lucukan kalau saya membuat kekacauan di Jerusalem atau Mekkah?
Acara berlanjut ke perjalanan Candi Mendut menuju Candi Borobudur dengan kaki. Okeh, disini saya skip saja. Karena saya berkenalan dengan seorang wanita seksi dengan anjing (pacar) disebelahnya dan seorang wanita imut-imut yang sudah menikah. Insting pecinta wanita saya memang paling mantap!
Sampailah di Borobudur. Ini hina! Madevaka! Dilapangan borobudur memang disediakan karpet untuk umat berdoa. Kenyataannya oleh diisi oleh orang-orang non-Buddha. Dari mana saya tahu? Jilbab dan beberapa orang memegang kamera. Alasan mereka datang kemari adalah menonton lampion. Tidak ada yang salah dengan lampion.
Yang salah adalah kenapa anda mengisi karpet itu? Lalu saya harus berdoa dimana? Lah saya cuman berdoa setahun sekali pas Waisak. Itu untuk saya. Lalu kalau ada umat Buddha yang jauh-jauh datang untuk menghadiri kebaktian Waisak? Mereka mau diletakkan dimana? Pohon? Besok saya bakal buat kamar kost-kostan di Masjid atau Gereja. Fix.
Sebenarnya masih banyak kejanggalan-kejanggalan lainnya. Tapi sulit saya jelaskan. Nanti terkesan bahwa saya cuman curhat saja. Begini saja deh. Manusia punya otak kan? Nah mungkinkan anda melakukan kekacauan di tempat ibadah yang bukan tempat agama anda? Iya? Berarti anda lebih rendah dari anjing.
Tidak. Baguslah. Terbukti otak anda masih berfungsi. Sekali lagi ya. Tidak ada yang salah dengan turis-turis tersebut. Saya malah senang.
sumber: http://dennisakazai.blogspot.com/201...epic-fail.html
Quote:Original Posted By berita 3
MAGELANG - Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan Waisak di Candi Borobudur tahun ini menarik banyak wisatawan. Sayangnya, kesakralan hari suci umat Budha ini menjadi ternodai karenanya.
Tahun ini, Candi Borobudur tetap dibuka untuk umum saat prosesi Waisak. Ribuan turis, baik lokal maupun mancanegara, memadati candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, ini. Kebanyakan turis mengaku menanti ritual pelepasan seribu lampion, yang menjadi penanda berakhirnya prosesi Waisak tahun ini.
Menurut pantauan Okezone pada Sabtu, 25 Mei 2013, pukul 14.00 WIB, jalanan menuju Taman Wisata Candi Borobudur sudah padat dan macet. Padahal, saat itu sedang ada prosesi kirab biksu dari Candi Mendut ke Candi Borobudur, salah satu bagian dari prosesi Waisak.
Memasuki kawasan Candi, antrean gerbangnya mengular. Tampaknya, tahun ini adalah tahun teramai perayaan Waisak di Borobudur. Sebagian turis berasal dari Jakarta dan sekitarnya, tak hanya dari Jawa Tengah atau Yogyakarta.
Pelataran Candi Borobudur sudah dialasi karpet kuning. Karpet yang seharusnya menjadi tempat duduk para umat Budha justru dipenuhi turis, sebagian besar anak muda yang tidur-tiduran sambil bercanda ria. Jumlah turis bahkan lebih banyak dibandingkan umat Budha yang ingin beribadah hingga cukup mengganggu kekhusyukannya.
Pukul 17.00 WIB, para biksu dari majelis-majelis yang sudah dua hari melakukan prosesi Waisak dari Candi Mendut ke Candi Borobudur sudah berkumpul di panggung pelataran. Hujan rintik-rintik turun, membuat para turis mengembangkan payungnya selama menunggu acara dimulai.
Hingga pukul 19.00, acara masih belum juga dimulai, padahal para biksu dan biksuni sudah berkumpul di panggung, siap untuk memanjatkan doa bersama. Hujan turun semakin deras, membuat pengunjung semakin resah.
"Maaf, acara belum dapat kami mulai karena masih menunggu kedatangan Menteri Agama, Suryadarma Ali," kata pembawa acara. Sontak, pengunjung menyoraki dengan teriakan "huuuu" panjang. Tak sedikit yang memaki. "Kami sudah menunggu lama!" "Kapan acara lampionnya?," begitu teriak turis-turis itu. Pembawa acara pun mencoba menenangkan pengunjung dengan menggunakan kata-kata mutiara dari kitab ajaran Budha.
Sekira pukul 20.00 WIB, akhirnya Menteri Agama datang. Kedatangannya disambut sorakan kecewa yang panjang. Sorakan ini juga terdengar saat Suryadarma membacakan sambutan dan saat pemuka agama Budha menyebutkan namanya.
Saat sambutan dari pemuka agama Budha, pengunjung pun terdengar tak bisa tenang. Di sana-sini terdengar suara teriakan dan tawa mereka.
Usai sambutan-sambutan, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa dari biksu-biksu sembilan majelis yang hadir saat itu. Hujan masih turun deras, dan mirisnya pada saat pembacaan doa, pengunjung meringsek naik ke panggung.
Mereka naik ke panggung, berusaha berada sedekat mungkin dengan para biksu dan memotretnya. Hal ini tentu mengganggu panjatan doa mereka, apalagi pengunjung-pengunjung ini memotret dengan menggunakan flash.
"Tolong jangan naik ke altar, ini tempat yang tidak boleh dinaiki," kata seorang biksu kepada pengunjung. "Bila ingin berfoto, tolong memoto dari jauh, para biksu sedang berdoa," imbuhnya.
Namun peringatan itu tidak dipatuhi pengunjung. Kejadian lebih ricuh lagi terjadi saat ritual Pradaksina, yaitu ritual para biksu mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali. Pengunjung semakin mendekat ke arah biksu, mencoba mengikuti mereka melakukan Pradaksina.
"Tolong, bagi pengunjung yang ingin juga melakukan Pradaksina, harap tertib. Jangan menghalangi jalannya biksu," demikian peringatan dari pembawa acara. Namun lagi-lagi diabaikan, bahkan seorang biksu terinjak-injak kakinya oleh pengunjung.
Usai Pradaksina, harusnya dimulai acara yang ditunggu-tunggu, yaitu pelepasan 1.000 lampion. Namun sayang, karena hujan masih turun dengan derasnya, pelepasan lampion terpaksa dibatalkan.
Teriakan dan keluhan marah dari pengunjung segera terdengar. Sebagian meninggalkan area candi, sebagian lagi ada yang naik ke panggung, mengambil bunga-bunga dan hiasan panggung. Area Borobudur menjadi sangat kotor oleh botol minuman, tisu, dan bekas bungkus makanan.
Waisak, yang seharusnya menjadi momen sakral ibadah umat Budha, justru sebaliknya. Umat Budha tidak dapat beribadah dengan tenang lantaran para turis penasaran menunggu pelepasan lampion, yang perhelatannya diadakan berbarengan.
sumber: http://travel.okezone.com/read/2013/...12801/redirect
Pesan saya cuman dua gan, sebagai salah satu umat Buddha,
Quote:Stop semua tweet maupun status facebook yang mencela-cela acara Waisak di Borobudur kemarin. Baik bagi umat Buddha yang merasa prosesi kebaktiannya diganggu (walaupun saya merasa demikian), maupun bagi umat non-Buddha yang merasa kecewa karena sudah merelakan waktunya hujan-hujanan untuk menikmati 1000 lampion yang ternyata dibatalkan.
Quote:Yang penting sekarang adalah introspeksi diri. Introspeksi bagaimana caranya toleransi antar umar beragama saja. Monggo bagi yang tertarik dengan acara Waisak di Candi Borobudur tahun depan. Silahkan datang dan ikut memeriahkannya. Kami (walaupun konteksnya ini hanya saya pribadi), umat Buddha, sangat senang dan menyambut hangat bagi yang ingin mengenal lebih dekat Hari Tri Suci Waisak.
Ane tidak mengharapkan cendol dan lain-lainnya. Ane cuman pengen semua orang baca trit ini dan punya kesadaran masing-masing. Okay? Let peace surround us

SOURCE: www.kaskus.co.id
0 komeng:
Posting Komentar